Jalur Komando” di Samsat Kebumen: Ketika Calo dan Petugas Menyatu dalam Seragam yang Sama

 

Ini bukan sekadar kisah tentang warga yang ingin membayar pajak. Ini adalah cerita tentang wajah pelayanan publik yang terbelah dua: satu sisi rapi dan prosedural, sisi lain buram dan penuh kompromi. Di Samsat Kebumen, kompromi itu punya nama: jalur komando.

Adalah KU, warga biasa, yang pada 5 Mei 2025 mencoba mengurus pajak lima tahunan kendaraan roda dua miliknya. Kendaraan itu dibelinya melalui Facebook. STNK-nya masih atas nama pemilik pertama. Seperti biasa, sistem menuntut KTP asli si pemilik, yang tentu saja tidak dimiliki KU.

“Saya sudah siap bayar pajak. Tapi karena tak bisa tunjukkan KTP asli pemilik lama, saya ditolak. Lalu datang seorang petugas, pakai seragam resmi, menawarkan jalur cepat: jalur komando, asal bayar Rp500.000,” ujar KU.

Pertanyaannya, sejak kapan seragam negara bisa menjual ‘jalan pintas’?

Apakah wajar jika solusi dari rumitnya sistem justru disediakan oleh orang dalamnya sendiri?

Dugaan ini bukan sekadar soal pungli. Ini soal integritas. Soal kepercayaan. Soal kenyataan pahit bahwa warga kecil, yang tak paham celah birokrasi, justru menjadi target paling empuk dari sistem bayangan semacam ini.

Gaya pungli semacam ini mengingatkan kita: ada ruang gelap di balik loket terang. Ada petugas yang seolah punya dua wajah—satu sebagai pelayan masyarakat, satu lagi sebagai calo terselubung. Dan kita bertanya lagi: apakah ini sistem yang ingin kita wariskan?

Di luar sana, ribuan warga lain mungkin mengalami hal serupa. Tapi hanya sedikit yang berani bicara. Karena melawan sistem kerap dianggap melawan negara, padahal yang dilawan adalah kebusukan segelintir oknum.

Ketika wartawan mencoba mengonfirmasi dugaan praktik “jalur komando” ini kepada Kanit Regident Polres Kebumen, Rinto, melalui pesan singkat WhatsApp, tak ada klarifikasi atau sikap institusional yang jelas. Alih-alih menjawab substansi pertanyaan, ia justru meminta data pribadi narasumber dengan dalih: “Kita dibantu identitas agar kita bisa tegakkan hukum.” Pernyataan itu menambah ironi: ketika hukum hanya bisa ditegakkan dengan mengejar suara yang melapor, bukan yang dilaporkan.

Padahal, dalam kerja jurnalistik yang sehat, perlindungan terhadap narasumber adalah hak mutlak. Identitas narasumber bukan alat tawar, bukan pula umpan legitimasi. Pers bukan perpanjangan tangan penyidik, tapi penjaga suara publik—terutama suara-suara yang sering dibungkam sistem. Ketika jurnalis justru diminta membuka data sebelum institusi membuka nurani dan tanggung jawabnya, maka publik layak bertanya: siapa yang sedang dilindungi?

Konfirmasi dari Satlantas Polres Kebumen dan instansi terkait masih ditunggu. Klarifikasi ini penting, karena publik berhak tahu: apakah ada tindak lanjut? Apakah ada sanksi? Atau semua hanya akan tenggelam seperti kasus-kasus sebelumnya?

Sebagai jurnalis, kami tidak hanya melaporkan. Kami bertanya. Kami menelusuri. Kami mengingatkan.

Karena pelayanan publik adalah soal siapa yang kita layani, bukan siapa yang bisa membayar lebih.

Dan ketika kepercayaan publik mulai retak oleh ulah satu-dua seragam yang salah fungsi, maka yang kita butuhkan bukan sekadar klarifikasi—tetapi tindakan nyata. Karena negara yang besar tidak hanya dibangun oleh infrastruktur yang megah—tetapi oleh kejujuran orang-orang kecil yang mempercayai sistemnya.


Penulis redaksi
Lebih baru Lebih lama