Malang, 25 Mei 2025 — Di Desa Sidorejo, Kecamatan Pagelaran, Kabupaten Malang, hukum tak lagi menjadi pagar. Di sinilah sabung ayam ilegal berlangsung bukan secara sembunyi-sembunyi, tapi terbuka—seolah semua sudah disepakati: pelaku berjudi, warga menyaksikan, aparat diam.
Setiap akhir pekan, lahan terbuka disulap jadi arena berdarah. Ayam-ayam jago dilempar ke tengah lingkaran, bertarung sampai mati. Sorak sorai mengiringi taruhan yang mengalir deras. Namun yang paling memekakkan telinga bukan teriakan penjudi, melainkan sunyi dari aparat kepolisian.
Tak satu pun penindakan. Tak ada patroli. Tak ada gangguan. Seolah-olah Desa Sidorejo bukan lagi wilayah hukum, tapi zona bebas pelanggaran yang tak terjamah seragam cokelat dan lambang negara.
“Kalau sudah bertahun-tahun berlangsung tapi tidak pernah dibubarkan, berarti memang dibiarkan,” kata salah satu warga yang meminta identitasnya disembunyikan. Ia menyebut aktivitas ini berlangsung rutin, dan sudah jadi rahasia umum di desa.
Kehadiran polisi? Nol. Reaksi? Tidak ada. Yang muncul justru pertanyaan: apakah mereka buta, atau sengaja menutup mata?
Yang lebih menyesakkan, bukan hanya karena hukum dilanggar, tapi karena mereka yang diberi mandat untuk menegakkan justru memilih diam. Diam yang memekakkan. Diam yang mencurigakan. Diam yang, dalam banyak kasus, berarti satu hal: kompromi.
Konfirmasi akan diajukan kepada Kapolsek Pagelaran, Kasatreskrim Polres Malang, dan pihak-pihak terkait lainnya. Namun masyarakat sudah lelah dengan janji normatif. Yang mereka tuntut kini adalah keberanian institusional, bukan pernyataan template.
Jika aparat masih memiliki harga diri, maka Sidorejo harus segera dibersihkan. Jika tidak, maka publik berhak menyimpulkan: di sini, hukum bukan tak bergigi—melainkan telah disuap untuk bungkam.
